Kamis, 29 Desember 2011

Merapi 2010. Riuh, Penuh Peluh, Tanpa Keluh

Boyolali- Ungkapan diatas hanya ingin bercerita tentang perasaan dan bukan bermaksud mendramatisir situasi. Ungkapan ini kami dedikasikan kepada kawan-kawan relawan yang telah tergabung dalam misi kemanusiaan bersama dengan Jalin Merapi di Boyolali (JM 4 dan JM 5) semenjak erupsi Merapi. Karena kawan-kawan relawan semualah, bhakti bersama ini bisa diwujudkan untuk warga Merapi di Boyolali (Musuk, Selo, Cepogo).

Awalnya inisiasi misi kemanusiaan dimulai di Selo oleh kawan-kawan MMC pada tanggal 28 Oktober 2010 di rumah saudara Muji, Dk Pentongan, Ds Samiran, Selo.

Sebenarnya bagi kawan-kawan Selo, letusan tanggal 26 Oktober 2010 tidak banyak mempengaruhi aktifitas warga Selo, mereka masih menganggap Selo akan aman-aman saja karena berada di punggung Merapi. Jadi untuk membuat posko saja belum begitu dirasakan relevansinya.

Apalagi kalau melihat pengalaman tahun 2006, saat itu semua organisasi sosial apalagi partai politik sudah kontes posko peduli di Selo. Berbagai relawan dari banyak institusi sudah meramaikan Selo lengkap dengan berbagai atribut dan bendera kebesarannya yang tentu dengan ukuran yang sangat besar. Yang jelas pengalaman 2006 membuat kawan-kawan MMC tidak cukup bersemangat untuk membuat posko.

Padahal saat itu kawan-kawan di Magelang dan Klaten sudah banyak beraktifitas di Posko masing masing. Wajar saja kalau di Boyolali sangat berbeda dengan 3 kabupaten yang lain, jika Tempat pengungsian di Magelang sudah penuh dengan pengungsi, hal ini tidak terjadi di Selo. Justru lokasi ini kosong, setelah warga diungsikan malam hari, paginya sudah pulang semuanya. Namun demikian, walaupun tidak cukup bersemangat dan tidak yakin akan langkahnya, kawan-kawan MMC tetap mendirikan posko di Rumah Bp Sumarno (mas Wage) Dk Blumbangsari, Desa Samiran, Kec Selo.

Peristiwa ledakan Merapi pada dinihari 30 Oktober 2010 merubah pandangan warga Selo akan Merapi, tidak biasanya ledakan terdengar di Merapi. Malam itu semua warga memadati lapangan Samiran dengan seribu kebingungan dihatinya. Malam itu semua orang bingung, termasuk saya yang sore hari baru pulang dari Stabelan mengantar Jenazah Paimin, korban Merapi. Setelah malam itu warga tidak lagi menganggap bahwa akan aman-aman saja di Selo. Dan kawan-kawan MMC mulai giat di posko dan di deklarasikan Jalin Merapi Boyolali (Selo). Beberapa kawan seperti Muji, Widodo, Sunardi, Wardi, Bowo, Sartono memulai aktifitas dengan pendataan di lokasi-lokasi pengungsian yang tersebar di sekitar lapangan Samiran. Sementara saya masih bolak-bolik Selo dan Dukun Magelang.

Di Posko JM Boyolali sejak tanggal 30 ini sudah banyak aktifitas, selain pendataan berbagai bantuan logistik sudah mulai masuk. Aktifitas distribusi banyak dilakukan malam hari karena para pengungsi baru berdatangan di sore hari. Yang agak menyulitkan karena pengungsi banyak yang menempati rumah-rumah penduduk yang jumlahnya per rumah antara 10 - 50 orang. Beberapa relawan menyikapi situasi ini dengan masuk ke rumah-rumah yang ada pengungsinya dan mendata berapa orang dan apa kebutuhannya. Baru pada malam sekitar jam 20;00 distribusi dilakukan. Selain itu juga berkoordinasi dengan lokasi-lokasi pengungsian yang jumlah warganya banyak seperti Selo PAss, Lapangan Samiran, aula Kecamatan, Balai desa Samiran dan Bungalow tersenyum.

Hal lain yang menjadi kegiatan kawan-kawan relawan JM Boyolali waktu itu juga membantu proses evakuasi, misalnya dengan terlibat dalam pengaturan lalulintas di depan posko karena setiap menjelang sore, kendaraan dari arah barat yang mengevakuasi warga melintas di depan posko dengan kecepatan tinggi. Beberapa relawan berjajar di pinggir jalan memberikan aba-aba agar para pengemudi berhati hati. Yang paling membuat relawan jengkel, di saat banyak kendaraan evakuasi berjalan cepat masih juga ada truck pasir yang berjalan melawan arah. Maka beberapa percekcokan dengan pengemudia truck pun terjadi.

Aktifitas di JM Boyolali waktu itu makin hari makin ramai, jumlah relawan makin banyak terutama beberapa pemuda dari Kuncen, Pojok, Pentongan dan Tegalsruni yang membantu di posko. Relawan dari luar Selo sudah mulai berdatangan seperti Faris dan Antok, kemudian kawan-kawan dari GP Ansor Boyolali (Ribut, Anis dkk).

Tanggal 3 November 2010 Merapi meletus lagi, dan dari Selo terlihat pijaran api yang cukup besar disertai gemuruh yang cukup hebat. Kepanikan tak terelekkan lagi, sejak malam itu beberapa warga Selo sudah mulai banyak yang mengungsi ke Boyolali. Bahkan warga di sekitar posko sudah banyak yang ke daerah Selo bagian utara karena menganggap di sana lebih aman.

Aktifitas JM selain mengupdate kondisi Merapi, juga masuk ke tokoh-tokoh untuk memberikan gambaran tentang kondisi Merapi dan mendorong adanya evakuasi bagi warga yang dekat dengan Merapi.

Kamis 4 November, kepulan asap Merapi tidak henti-hentinya membumbung ke atas dan gemuruh makin lama makin keras. Sore itu terjadi evakuasi warga ke Boyolali, namun sebagian besar masih di Selo. Hingga malam hari sekitar jam 08:00 kawan-kawan masih di Posko, sambil memastikan apakah warga sudah terevakuasi semua. Isu demi isu beredar di masyakarat, sebut saja Merapi mau punggel tumpeng (meletus dan sebagian besar kubahnya akan longsor), gas beracun dll. Terjadilah evakusi yang luar biasa riuh tanpa ada komando yang jelas. Yang jelas, warga Selo, Cepogo dan Musuk tidak memiliki pengalaman evakuasi yang baik sehingga suasana jalan Selo sampai Boyolali sangat kacau.

Melihat kondisi ini maka posko di Selo dinyatakan tidak efektif lagi karena warga dan pengungsi di Selo sudah pindah ke Boyolali semua, akhirnya dalam kondisi darurat saya berkoordinasi dengan Ketua KPUD Boyolali Ribut Budi Santoso untuk meminjam Aula KPUD untuk digunakan sebagai posko JM Boyolali. Atas kesepakatan bersama, Aula KPUD di jadikan posko, masalahnya saat itu semua tim JM masih di Selo. Akhirnya saya melakukan kontak dengan kawan-kawan Forabi di Boyolali seperti mas Eko Bambang Setiawan, Santi, Suji dll. Saat itu juga Eko dan Suji segera mempersiapkan posko di Boyolali. Di saat itu ada kiriman relawan dari JM Induk sekitar 11 orang yang dipimpin oleh Dwi Amphas. Maka tim ini segera bergabung dengan kawan lokal di sana. Malam itu selain mempersiapkan posko juga melakukan pendataan lokasi-lokasi yang digunakan oleh para warga untuk mengungsi.

Di Selo suasana makin malam makin mencekam, listrik di posko padam sehingga kawan-kawan sudah dalam kondisi siaga penuh untuk segera mengamankan diri jika kondisi Merapi makin mengkhawatirkan. Saat itu semua sudah bersiap di atas sepeda motor, ada Saya, Muji, Antok, Sartono, Warji dan beberapa kawan yang lain.

Tepat pukul sembilan Merapi tertutup kabut dan kawan-kawan bergeser ke timur, namun ternyata masih ada beberapa warga yang ada di Balai Desa Samiran. Akhirnya kawan-kawan menghimbau agar warga segera meninggalkan balai desa, atas himbauan ini warga segera meninggalkan lokasi. Diantara mereka ada yang ke Selo duwur dan ke Tompak Tarubatang (menurut informasi malamnya mereka pindah lokasi ke Boyolali). Setelah balai desa dan bungalow Selo kosong kami bergeser ke Selo Pass, ternyata di sana masih ada warga sekitar 30 orang yang kebanyakan perempuan, anak dan manula. Kami tanya kenapa masih di sini, jawabnya mau pergi tapi enggak ada kendaraan.

Maka waktu itu kami bersama dengan salah satu anggota SAR (Marlan) melakukan koordinasi dengan kawan-kawan yang ada di Boyolali. Banyak mobil yang mau jemput, namun sebelum sampai lokasi mereka sudah balik arah karena takut dengan kondisi Merapi yang makin kencang gemuruhnya dan apinya. Hingga akhirnya ada mobil pick up yang datang, namanya pengemudinya mas Joko warga Dk Gebyog, desa Selo. Kemudian warga ini naik ke mobil untuk menuju ke Boyolali, pertanyaan kemudian di Boyolali mau ngungsi di mana? Pertanyaan mas Joko ini agak membuat kami bingung karena kami juga tidak tahu bagaimana persiapan lokasi pengungsian di Boyolali. Tanpa berpikir panjang saya jawab, "ke KPUD saja mas", padahal sebenarnya KPUD akan dijadikan posko informasi dan logistik JM Boyolali, tetapi saya enggak ada pilihan lain. akhirnya mas joko mengantar warga ke KPUD Boyolali.

Setelah itu kami berlima bertahan di Selo pass memantau kondisi Merapi.

(bersambung)

Selamat Jalan Paimin

Kehadiran letusan merapi yang seharusnya mendapat perhatian yang penuh oleh semua pihak, terutama pemerintah ternyata tidak pada kenyataannya. Bukan mendaramatisir situasi, tapi sungguh hari ini adalag hari yang sangat membuat hati saya terpukul, marah, berontak, dan KUDU MISUH...............

Siang jam 14.11 terdengar oleh saya dan kawan kawan di POSKO Jalin Merapi, Dukun Magelang informasi dari radio komunikasi kompak yang menyatakan ada warga Stabelan, Tlogolele, Selo, Boyolali yang meninggal di RSUD MUntilan yang bernama PAIMIN anak dari pak Karto dan bu Sapari. sebagai sesama warga lereng merapi, kemudian saya bergegas menuju rumah sakit diantar oleh Pandu salah satu relawan Jalin Merapi.

Sesampai di sana saya melihat ada orang tua yang tampak lelah dan gundah sedang dinasehati oleh salah satu relawan, saya coba memastikan apakah ini adalah keluarga almarhum? dan ternyata benar, yang dihadapan saya adalah pak Kartokarno ayah dari Paimin. saya ulurkan tangan dan lalu saya perkenalkan diri sebagai sesama warga selo warga lereng merapi kemudian kuberabikan untuk bertanya tentang paimin, lantas lelaki sepuh ini mengantarkan ke salah satu ruag di UGD RSU Muntilan. Hati sontak kaget melihat jasad kecil terbujur, lalu saya buka kain penutup muka yang kemudian terlihat wajahnya yang ganteng namun meninggal. selanjutnya kuusapkan tangan ku dari atas mukanya untuk memejamkan matanya.

Setelah aku tutup lagi dan aku dekati pak karto yang sangat kelihatan terpukul. Kemudian saya tanyakan penyakit apa yang diderita PAIMIN, sehinga dia meninggal dunia di usianya yang masing 4,5 th. Dengan lugas pak karto menjawab "PAIMIN sakit watuk mas", kemudian dia melanjutkan bahwa sebelumnya dia berada di TPS (Tempat Penampungan Sementara) Bencana Merapi di Tlogo Mulyo, "wau jam songo dugi mriki mas, namung jam kalih PAIMIN sampun mboten wonten" begitu ungkapnya lirih kepada saya. dalam hati saya merasakan betapa bapak ini sangat kuat menemani sendiri anak kesayangannya yang sudah tidak bernyawa lagi. Setelah itu saya bertanya dimana ibu? lalu beliau menjawab ibu ada di depan, kemudian saya diantar menemui ibu ibi di teras RSU Muntilan, air matanya yang terus mengalir dan isak tangisnya begitu dalam, seakan dia tidak percaya anaknya sudah meninggal saat merapi habis meletus. Saya hanya mengatakan "sabar nggih bu, sedoyo sampun kersanipun Gusti" walaupun hati juga bertanya kenapa PAIMIN yang mungil dan ganteng itu harus meninggal?

Saya bergegas menemui petugas tentang bagaimana selanjutnya proses jenazah PAIMIN akan di bawa pulang ke Tlogolele. oleh petugas dijawab bahwa akan ada ambulan dari selo yang akan menjemputnya, saya coba menegosiasikan agar bisa diantar saja tanpa menunggu ambulan dari selo. tetapi rupaya memang sudah ada ambulan dari Selo yang akan menjemput.

Kurang lebih pukul 15.00 Ambulan Puskesmas Selo datang bersama tiga orang, mas aris (driver), Mbak endang (Bidan) dan MBak Win (Bidan). Tanpa berproses panjang kami bertiga kemudian seger mengurus adminsitrasi untuk proses kepulangan Jenazah PAIMIN.

Diatas bangku beroda jenazah paimin mendekat ke ambulan yang sudah disiapkan di depan Pintu UGD RSU MUntilan. kemudian saya bopong jenazah paimin ke dalam Ambulan diikuti oleh pak karto dan bu sapari. kemudian saya bergegas untuk turun dan pamitan dengan pak karto, baru mulai melangkah saya merasa tidak tega meninggalkan kedua orang tua ini yang tiada henti menangis. akhirnya saya putuskan untuk turut serta dalam rombongan mengatarkan PAIMIN ke rumahnya di Stabelan.

Sepanjang perjalanan Muntilan Magelang- Tlogolele Boyolali, Ibu Sapari tidak hentinya menangis dan sesekali saya kuatkan dengan sedikit ungkapan. pak karto dengan begitu rasa sayangnya menemani jenazah PAIMIN di pembaringan sambil memegangi tubuh mungilanya yang tergoyang goyang oleh kondisi jalan yang bergelombang. dalam perjalanan saya berharap bahwa nanti pak karto dan bu sapari akan mendapatkan nasehat dan tutur indah dari para pejabat dan petugas yang sedang berjaga jaga dengan kondisi merapi.

Sesampai di stabelan, ibu sapari dan pak karto turun dipapah oleh saudar saudar dan tetangga yang sudah menunggunya dirumah. kemudian jenazah saya bopong kembali menuju rumahnya setelah itu jazad terbaring di meja yang sudah disediakan oleh para tetangga. suasana berubah menjadi sangat haru ketika semua sanak saudara turut sedih dan menangisi kepergian PAIMIN.

Para tetangga dengan ramah menyapa kami bertiga (saya, mbak endang dan mbak win). tetapi tiba tiba hati saya bertanya, marah berontak.
Dimana ya pemerintah? ini warganya meninggal kok enggak ada yang disini selain pak bayan? kami saling pandang, lalu saya segera bergegas pamitan dengan pak karto dan bu sapari kemudian kami turun menuju mobil. saya bertanya kok begini ya mbak? pada kemana to mbak para petugas kebencanaan? lalu mbak endang dan mbak win menjawab " ya memang begini, ini saja inisiatif kita". " Wah yen ngene iki kudu misuh mbak" celetukku , lalu dengan sabar mbak endang bilang " Rasah misuh". tetapi hatiku tetap saja mulai panas dengan kondisi ini, kemudian kami menuju Balaidesa Tlogolele. sesampai disana mbak win dan mbak endang ke balaidesa, saya berdiri dipinggir jalan bersama dengan Aparat TNI dan beberapa warga yang sedang ngobrol di jalan. kami sempat ngobrol tentang kondisi merapi dan pengungsian yang cenderung kosong di beberapa tempat di selo dan kalau ada hanya lansia, ibu ibu dan anak anak.

Tak lama kemudian mbak win dan mbak endang keluar dari balaidesa, kemudian menuju mobil, namun diperempatan ketemu dengan Bidan yang lain yan tahu kondisi sakit PAIMIN. saya sedang ngobrol dengan warga lain dan saya ceritakan kalau ada yang depresi di magelang, lalu mbak bidan tadi bilang "lho PAIMIN kan Depresi juga". betapa kagetnya setelah mendengar ungkapan mbak bidan.

Jujur saya makin marah atas kondisi ini. itu artinya PAIMIN ini korban bencana merapi? kenapa paimin juga baru kerumah sakit tadi jam 9? bukankan kondisi PAIMIN sudah diketahui sejak dini? setelah meninggal kok begini juga? kemana pemerintah? saya sangat berharap kehadiran pemerintah bersama dengan petugas kebencanaan akan membantu mengurangi beban sedih pak karto dan bu saparini. ternyata pemerintah ABSEN LAGI.........................

Enggak sehat nya, enggak meninggalnya, pemerintah sama saja. Rakyat tetap sendiri. Pak Karto, Bu Sapari Ingkang Sabar Nggih............ Mugi Gusti Paring Panggenan ingkang sae kagem Paimin. Nderek Belo Sungkowo

(Sinam bersama dengan TIM Jalin Merapi)

Mengenal Media Komunitas

Mengenal Media Komunitas Oleh: Sinam M Sutarno “ setiap orang  berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi d...